Oleh: Redaksi@pagiterkini.com
OPINI, Di balik gemerlap lampu malam Gempol9, tersimpan kisah getir yang tak banyak diketahui publik. Sebuah tempat yang awalnya hanya menjadi ruang berkumpul, karaoke sederhana, dan pelarian dari penatnya kehidupan, kini berubah menjadi objek serangan bertubi-tubi dari media, aktivis, bahkan beberapa organisasi. Tempat itu adalah Gempol9.
Ironis, ketika yang dicari adalah keadilan, tapi yang ditegakkan justru prasangka. Gempol9 tidak lebih dari sebuah warkop hiburan, bukan tempat esek-esek seperti yang ramai diberitakan. Namun entah mengapa, tudingan demi tudingan terus mengarah ke sana, seolah hanya mereka satu-satunya yang patut disalahkan.
Sebagai media yang menjunjung nilai kebenaran, kami merasa perlu menggali lebih dalam. Bukan untuk membela, tapi untuk mendengar. Karena seringkali, suara-suara yang tersudut justru tidak pernah diberi ruang bicara.
Dan ketika kami mendengar langsung dari pihak yang mengelola Gempol9, kami justru menemukan sisi lain dari sebuah realitas yang selama ini tertutupi, kekecewaan, kecemburuan, dan permainan kepentingan yang rumit. Ada mantan “orang dalam” yang kini menyerang, ada oknum yang dulu menikmati fasilitas secara gratis kini menjadi vokal di media, bahkan mengancam.
Lebih menyedihkan lagi, ketika salah satu pengelola mengungkapkan, bahwa mereka siap ditindak jika memang salah. Tapi mereka juga meminta satu hal yang sangat manusiawi, keadilan yang adil.
Mengapa tempat-tempat yang terang-terangan menyediakan prostitusi seperti di Tretes atau Tangkis Gempol nyaris tak tersentuh? Mengapa media tidak segalak itu ke sana? Mengapa Gempol9, yang tidak pernah terbukti untuk saat ini melakukan pelanggaran serupa, justru jadi sasaran utama?
Pertanyaan-pertanyaan ini menggema seperti jerit yang tak didengar. Dan lebih parahnya, kita semua diam.
Ini bukan tentang membela tempat hiburan malam. Ini tentang membela keadilan. Jika negara hadir untuk menertibkan, maka penertiban harus dilakukan secara merata, tidak tebang pilih. Jika hukum ditegakkan, maka tegakkanlah secara menyeluruh, bukan karena tekanan, bukan karena selera pribadi, apalagi karena dendam yang bersembunyi di balik mikrofon.
Hari ini, Gempol9 mungkin hanya sebuah bangunan tinggi yang kini sepi karena stigma. Tapi di balik bangunan itu ada pekerja, ada keluarga, ada manusia yang menggantungkan hidup. Adakah yang peduli pada mereka?
Kita hidup di era keterbukaan informasi. Tapi terkadang, informasi bisa juga menjadi alat penghancur jika tidak digunakan dengan hati nurani. Mari kita kembali menata cara kita melihat, cara kita menulis, dan cara kita menegakkan kebenaran. Bukan karena kepentingan, tapi karena memang itu yang seharusnya.
Opini ini bukan untuk menutup mata terhadap pelanggaran, jika memang ada. Tapi untuk membuka mata bahwa di balik sorotan, selalu ada cerita yang belum kita dengar sepenuhnya.
Oleh: Redaksi@pagiterkini.com













Tinggalkan Balasan