PASURUAN, PAGITERKINI.COM – Pernyataan Ketua LSM FORMAT, Ismail Makki, soal penggunaan asas hukum lex specialis derogat legi generali untuk menuntut penutupan kawasan hiburan Gempol 9, menuai kecaman keras dari para aktivis dan pegiat hukum di Pasuruan dan Surabaya. Mereka menyebut argumen Makki tidak hanya dangkal, tetapi juga berpotensi menyesatkan publik.

Dalam keterangannya, Makki membandingkan kawasan Gempol 9 dengan Tretes, dengan menyatakan bahwa keduanya berada di bawah aturan tata ruang dan hukum yang berbeda.

“Dalam hukum berlaku asas lex specialis derogat legi generali. Jika Gempol 9 terbukti melanggar aturan khusus di wilayahnya, maka sudah sepatutnya ditutup,” ujar Makki kepada Pagiterkini.com, Minggu (20/07).

Namun pernyataan tersebut langsung memicu kritik keras. Aktivis dari Lembaga Lumbung Informasi Rakyat (LIRA), Wahyu, menilai penggunaan asas hukum tersebut tidak disertai penjelasan legal yang sahih.

“Lex specialis bukan alat untuk menggiring opini atau menjustifikasi penutupan usaha seenaknya. Mana aturan khusus yang dilanggar? Sudah diuji lembaga berwenang? Ini kesannya asal-asalan,” tegas Wahyu. Senin (21/07)

Wahyu, yang juga menjabat sebagai Wasekjen LIRA dan Wakil Ketua Barikade Gus Dur, menambahkan bahwa pendekatan hukum harus selalu berlandaskan keadilan dan kemanusiaan.

“Jangan cuma bawa-bawa moral. Yang perlu kita jaga itu aspek kemanusiaannya. Apalagi kalau pemerintah intervensi lewat OPD tanpa solusi konkret. Para pekerja di Gempol 9 rata-rata bahkan tak lulus SMP. Negara harus hadir, bukan malah tutup mata dan telinga.”

Senada dengan itu, kritik juga datang dari Surabaya. Ketua Umum Aliansi Madura Indonesia (AMI), Baihaki Akbar, S.E., menyebut pernyataan Makki sebagai bentuk manipulasi hukum.

“Pakai lex specialis tapi nggak pernah sebut aturan spesifiknya, norma hukumnya apa, siapa penegaknya. Itu sama saja menuduh tanpa dasar. Ini praktik tidak etis,” ujar Baihaki.

Ia menegaskan, bahwa setiap dugaan pelanggaran hukum seharusnya diproses melalui jalur resmi oleh aparat penegak hukum, bukan dengan tekanan opini dari LSM.

Baihaki juga menyindir, sikap selektif LSM FORMAT yang dinilai hanya menyoroti Gempol 9, sementara kasus serupa di tempat lain justru diabaikan.

“Kenapa cuma Gempol 9 yang diincar? April lalu ada kasus di Ngopak yang lebih parah, tapi LSM itu diam. Di Tretes malah lebih banyak kasus serius,” kata Baihaki setelah membaca berita sebelumnya.

Ia membeberkan, sejumlah kasus besar yang terjadi di Tretes, antara lain:

Perdagangan orang yang melibatkan dua muncikari dan penjaga wisma, pada (14 Maret 2023) lalu.

Kasus penusukan usai hubungan seksual di vila, pada (13 Agustus 2024), lalu.

Dugaan perdagangan perempuan bermodus janji kerja di kafe. Pada (15 Januari 2025).

“Apa mungkin mereka nggak baca berita? Kasus sebanyak itu, tapi bisa-bisanya diam seribu bahasa,” sindir Baihaki dengan tegas!

Di sisi lain, para pelaku usaha di Gempol 9 meminta agar pemerintah dan masyarakat membuka ruang dialog terbuka untuk mencari solusi yang adil dan tidak diskriminatif.

“Kami tidak menolak penertiban. Tapi harus adil, terbuka, dan sesuai hukum. Jangan karena tekanan opini publik lalu semua dihukum rata,” ujar salah satu pengusaha warkop yang enggan disebut namanya.

Polemik Gempol 9 pun masih terus bergulir. Publik berharap penyelesaian dilakukan berdasarkan hukum dan fakta, bukan sekadar jargon hukum atau tekanan kelompok tertentu.

(Mal/kuh)