PASURUAN, PAGITERKINI.COM — Keputusan Pengadilan Agama (PA) Bangil, Kabupaten Pasuruan, yang mengabulkan 45 permohonan dispensasi perkawinan anak dalam satu hari memicu kontroversi dan perdebatan di tengah masyarakat.
Fenomena ini kembali menyorot persoalan pelik antara hak individu untuk menikah dan perlindungan terhadap hak-hak anak.
Peristiwa ini terjadi pada Selasa (17/06/2025) dalam agenda sidang di Kantor Urusan Agama (KUA) Winongan, yang totalnya mencakup 51 perkara. Dari jumlah tersebut, sebanyak 45 perkara merupakan permohonan dispensasi kawin anak, sementara sisanya 6 perkara perceraian.
Kepala KUA Winongan, Nur Khotib, membenarkan informasi tersebut. “Jumlah perkara hari ini sebanyak 51. Dari jumlah itu, sekitar 45 perkara merupakan dispensasi kawin, dan 6 lainnya adalah perkara perceraian,” ujarnya kepada awak media.

Masyarakat pun mulai angkat suara. Salah satunya datang dari tokoh masyarakat setempat, H. Safii, yang menilai langkah PA Bangil sebagai keputusan yang terlalu longgar dalam menyikapi persoalan serius ini. Ia menegaskan bahwa dispensasi seharusnya hanya diberikan dalam kondisi sangat mendesak dan disertai bukti kuat.
“Ini sangat luar biasa, bahkan mengkhawatirkan. Para hakim seharusnya lebih bijak dalam memutus perkara dispensasi kawin anak. Perkawinan di bawah umur bukan sekadar formalitas hukum, tetapi menyangkut masa depan anak yang masih dalam tahap tumbuh kembang,” ungkap H. Safii.
Menurutnya, banyak dispensasi diberikan karena alasan kehamilan di luar nikah atau tekanan sosial ekonomi, yang justru memperburuk situasi anak.
“Jangan sampai dispensasi menjadi pintu legalisasi praktik kawin anak. Anak-anak ini belum matang secara fisik dan psikologis, dan risiko perceraian di usia muda pun sangat tinggi,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, Undang-Undang Perkawinan yang telah direvisi melalui UU No. 16 Tahun 2019 menetapkan batas usia minimal menikah bagi pria dan wanita adalah 19 tahun. Namun, celah hukum melalui dispensasi masih banyak dimanfaatkan, meski semangat undang-undang adalah untuk menekan praktik perkawinan dini.
Pernikahan anak terus menjadi dilema sosial dan hukum di Indonesia. Di satu sisi terdapat tuntutan budaya dan kondisi ekonomi, namun di sisi lain terdapat tanggung jawab negara dalam melindungi anak-anak dari dampak jangka panjang yang serius, baik secara kesehatan, pendidikan, maupun mental.
(mal/dor/kuh)
Tinggalkan Balasan